Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu. (Kejadian 45: 5)
Kalimat yang sangat indah diatas merupakan pernyataan Yusuf kepada saudara-saudaranya yang sedang ketakutan setelah ia memperkenalkan siapa dirinya. Bisa kita bayangkan betapa takutnya saudara-saudara Yusuf ketika mengetahui bahwa yang sedang dihadapi adalah orang yang dahulu pernah mereka celakai kemudian jual, dan betapa kagetnya pula mereka ketika pada kenyataannya Yusuf bukan hanya tidak marah atau mendendam, tetapi malahan sebaliknya menyatakan “janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini”. Yusuf tidak hanya telah mengampuni saudara-saudaranya, tetapi juga seolah bersyukur atas tindakan yang telah dilakukan saudara-saudaranya dahulu. Kita masih ingat bagaimana sikap Yesus kepada mereka yang menyiksa dan kemudian menyalibNya, ditengah penderitaanNya Ia menyatakan "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34); atau Stefanus ketika mengalami siksaan yang menyatakan "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” (Kis 7:60). Bagaimana bisa terjadi demikian? Seharusnya baik Yusuf maupun Yesus atau Stefanus berhak melakukan sesuatu untuk menebus dan membalas sakit hati kepada mereka yang telah berlaku jahat. Setidaknya mereka layak berdoa sebagaimana yang dilakukan Daud didalam Mazmur 109. Tetapi semua itu tidak mereka lakukan. Apa yang membuat ketiga tokoh ini dapat bersikap seperti itu? Bagi kita, mungkin kita akan menyatakan rasanya tidak mungkin kita dapat bersikap seperti itu dalam keadaan normal keseharian sekalipun – ingat Yesus ataupun Stefanus mengucapkan doa mohon pengampunan tersebut saat sedang mengalami penderitaan yang tidak wajar, sedangkan Yusuf saat sedang berada dalam puncak karirnya yang penuh sukacita, yaitu sebagai pejabat tinggi di Mesir. Suatu keajaiban? Mungkin benar!
Dari keseluruhan perjalanan hidup Yusuf (yang menjadi sorotan kita disini), kita dapat mengetahui jawabannya. Sebuah kehidupan yang meski penuh derita tetapi ia jalani dengan iman yang tetap tegar dan tidak tergoyahkan. Dengan tanpa bisa menolak atau melawan ia menghadapi penzaliman saudara-saudaranya sendiri, kemudian dijual sebagai budak. Dengan perlawanan yang gigih ia menolak ajakan berbuat dosa oleh isteri Potifar yang mengakibatkan ia harus dipenjara, sampai akhirnya karena iman pula ia secara dramatis naik menjadi pejabat tinggi di Mesir. Benar bila dikatakan bahwa kesusahan dan penderitaan dapat membuat kita menjadi lebih bijak atau jahat, dan Yusuf dengan imannya telah menjadi yang pertama, bijak. Apabila segala sesuatu dihadapi Yusuf dengan iman yang sedemikian teguhnya, dengan mengambil contoh ini, kita dapat berkesimpulan bahwa apa yang telah dinyatakan oleh Yusuf, Yesus dan Stefanus adalah pernyataan orang-orang beriman dan sikap atau pernyataan ini bukan lagi merupakan sebuah keajaiban akan tetapi menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat kita pungkiri.
Yusuf memahami rencana Tuhan
Ketika Yusuf menyatakan bahwa ”janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu” ia ingin menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan oleh saudara-saudaranya merupakan rencana Tuhan, sehingga memang haruslah demikian. Tentang hal ini, Yusuf terlihat mengetahui dan memahami betul rencana Tuhan bagi umat Israel dan peran yang harus dilakoninya. Semua ini dapat ia ketahui melalui perjalanan dan pengalaman hidupnya. Ia mengimani sekaligus bersyukur bahwa kehidupan yang ia jalani adalah kehidupan yang Tuhan rencanakan dan tugasnyalah untuk melaksanakannya. Sehingga saat ia menyatakan ”Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir” (Kejadian 45:8) terkandung makna bahwa ia sadar akan otoritas Tuhan atasnya dan ia hanya dapat menerima saja.
Bersyukur menjadi bagian dari rencana Tuhan
Keyakinan bahwa semua yang telah dialaminya merupakan rencana Tuhan juga telah membuat Yusuf melupakan kejahatan saudara-saudaranya. Ia tidak kecewa atau dendam dengan kehidupannya yang penuh derita. Ia malah merasa harus bersyukur dan bangga karena dipakai Allah untuk masa depan bangsanya. ”Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagian besar dari padamu tertolong”(Kejadian 45:7).
Yusuf telah berkorban
Dari kisah hidupnya kita belajar bahwa menjadi bagian dari rencana Tuhan dan menjalaninya bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Yusuf telah berkorban bagi bangsa Israel dan keluarganya. Yusuf telah kehilangan masa mudanya sebagai anak orang kaya yang disayangi oleh Yakub, ayahnya. Ia telah kehilangan banyak sukacita yang seharusnya dinikmati. Ia harus berkorban demi menjalankan kehendak Tuhan. Namun semua pengorbanan itu tidak sia-sia. Yusuf telah menjadi pahlawan dan penyelamat keluarga dan bangsanya. Ia telah menjadi seorang yang tidak hanya dewasa dalam bersikap, tetapi juga imannya, karena ia tetap mengakui bahwa ia menjadi penguasa di Mesir semata-mata karena kehendak Tuhan dan untuk kebesaran Tuhan. Yusuf telah menjadikan Tuhan sebagai fokus tujuan hidupnya.
Kita adalah bagian dari rencana Tuhan
Kolose 1:16 menyatakan bahwa kita diciptakan ”oleh Dia dan untuk Dia”, kemudian melalui Roma 11:36 kita mengetahui bahwa ”segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” serta banyak lagi di dalam Alkitab yang menerangkan dan menyatakan siapa kita, untuk apa kita hidup, bagaimana hubungan kita dengan Tuhan kita. Dari semua itu, kita mengerti bahwa kita diciptakan oleh Tuhan dan hanya untuk kepentingan Tuhan. Untuk kepentingan Tuhan berarti kehadiran kita di dunia adalah sesuai dengan rencana dan untuk melaksanakan rencana tersebut untuk kemuliaan Tuhan semata.
Tapi mengapa kita? (Efesus 1:5-6) Ya, memang harus kita, karena kita telah dipilih sesuai dengan keinginan, ukuran dan wewenang yang ada padaNya. Pendek kata, kita dipilih karena Ia, atas keinginanNya sendiri, menentukan demikian. Jadi kalau Tuhan telah memilih kita, itu berarti kita mempunyai kedudukan yang istimewa bagiNya. Kita, menurut Dia, sanggup menjalankan tugas dan misiNya, yaitu menjadi alat kemulianNya (Efesus 1:6). Dengan pengertian lain, kita tidak bisa menolak untuk dipilih Tuhan atau memaksa Tuhan untuk memilih kita, semua adalah wewenang Tuhan sendiri.
Demikian pula, menjadi alat kemulianNya merupakan suatu keharusan yang mutlak, bila tidak, berarti kita tidak menjalani rencana atau kehendak Tuhan yang berakibat bahwa hidup kita mengecewakan Tuhan. Namun tugas ini yang sering kita lupakan. Kita sering beranggapan bahwa melaksanakan kehendak Tuhan adalah sebuah pilihan, seperti orang memilih melayani atau tidak melayani, padahal melayani adalah suatu keharusan. Atau sering kita merasa telah melaksanakan kehendak Tuhan ketika kita berbuat sesuatu semata-mata hanya karena menurut kita baik. Atau ketika kita merencanakan sesuatu kemudian kita bawa rencana kita itu dengan berdoa untuk minta restu, dukungan atau legitimasi Tuhan atas rencana itu, kita merasa bahwa kita telah melaksanakan kehendak dan rencana Tuhan. Sehingga saat rencana tersebut berhasil dilaksanakan, kita merasa sebagai keberhasilan kita yang direstui Tuhan; sedangkan apabila gagal, kita akan mencari kambing hitam atau merasa bahwa daya dukung dari rencana itu yang kurang. Tidak, tidak demikian. Kita diciptakan karena Tuhan memilih kita untuk melaksanakan rencanaNya (bukan rencana kita) dan demi kemuliaan namaNya (bukan nama kita). Tuhan yang merencanakan, kita hanya melaksanakan.
Mengerti dan mau melaksanakan rencana Tuhan
“Sebab itu, janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan” (Efesus 5:17). Dalam kaitan dengan ini layak pula dibaca Efesus 4:13 atau Yeremia 9:24. Dari ayat-ayat tersebut dengan sedikit penyesuaian, pentingnya mengetahui dan mengerti kehendak Tuhan ini menjadi seperti sebuah iklan “orang pintar mengerti kehendak Tuhan” Demikian, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kita wajib untuk mengerti kehendak Tuhan. Mangapul Sagala didalam situsnya menyatakan bahwa “Kesuksesan kita diukur dari seberapa jauh kita mengerti kehendak Tuhan dalam hidup kita dan bagaimana sikap kita melaksanakannya.”
Seperti kita ingin mengetahui rencana dan kehendak orang lain, pasti kita akan berbicara dan menanyakan kepada orang tersebut. Atau apabila kita ingin sungguh-sungguh mengetahuinya, kita akan berusaha dekat bergaul dengan orang itu. Demikian pula dengan Tuhan, kita dapat mengetahui dan mengerti apa kehendak dan rencana Tuhan adalah dengan tekun melakukan hubungan pribadi dengan Tuhan yang kita lakukan melalui ibadah kita kepadaNya. Untuk itu Roma 12:1 mengajar kita tentang ibadah yang benar, yaitu mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Melalui cara ini, niscaya kita akan mengetahui rencana dan kehendak Tuhan, demikian pula kita akan dimampukan untuk melaksanakannya.
Dengan mempersembahkan tubuh berarti apa yang diinginkan Tuhan dari kita tidak terbatas pada manusia batiniah kita, Tuhan juga memperhatikan dan meminta manusia lahiriah kita. Berarti hidup kita adalah dari Tuhan dan hanya untuk Tuhan saja. Kita sekolah, bekerja, pacaran, menikah, sedih, senang harus dalam kaitannya dengan Tuhan. Sebuah totalitas hidup bagi Tuhan. Hidup bagi Tuhan tidak sama dengan bekerja bagi Tuhan. Orang bisa saja bekerja bagi Tuhan, tetapi dia tidak hidup bagi Tuhan; sebaliknya, orang yang hidup bagi Tuhan, pasti bekerja bagi Tuhan. Hidup bagi Tuhan berarti kita tidak menyisakan waktu sedikitpun bagi diri sendiri untuk menuntut sesuatu. Seluruh waktu dipersembahkan bagi Tuhan. Kita dipanggil untuk mempersembahkan tubuh kita.
Sebagai persembahan yang hidup (bukan yang mati) berarti selama kita hidup Tuhan menghendaki jiwa dan raga kita yang aktif dan dinamis, yang terbaik dari diri kita, baik energi, intelektual, moral maupun phisik, Kita berserah total untuk hidup dikuasai oleh Tuhan dan yang penting adalah berani menyesuaikan hidup kita dengan kehendak dan rencana Tuhan
Sebagai persembahan yang kudus adalah tanpa cacat dan mencakup seluruh pikiran, talenta, dan waktu kita yang terbaik, bukan ketika kita sudah tua tidak bertenaga lagi; dan tidak terbagi dengan hal yang lain, seluruhnya untuk Tuhan.
Sebagai persembahan yang berkenan kepada Tuhan adalah bukan yang kita anggap baik, tapi yang dikehendaki Allah yang kriterianya ada pada Tuhan
Dari kisah hidupnya, kita melihat bahwa Yusuf mengetahui dan mengerti apa kehendak Tuhan baginya dan ia secara tulus melaksanakannya. Kesusahan, kesulitan dan duka telah menjadi bagian dari kehidupannya, tetapi ia tetap tegar di dalam menjalaninya sampai akhirnya ia mencapai puncak tugas didalam kehidupannya, yaitu menjadi seseorang yang merupakan tumpuan hidup tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi bangsanya dan yang terutama menjadi bagian dari perwujudan janji Tuhan kepada Abraham (Kejadian 15). Sukacita dan nikmat yang dirasakan oleh Yusuf adalah ketika ia mengetahui rencana Tuhan dan ia adalah bagian dari padanya serta ia mengetahui bahwa ia telah berhasil melaksanakannya
Bagaimana dengan kita? Sudahkan kita mengetahu apa rencana Tuhan bagi kita dan apakah kita bersedia menjalaninya. Kalau ini bukan pilihan, jangan kita tunda dan jangan kita takut. Kita sudah terlalu sering mendengar dan memperkatakan bahwa Tuhan tidak menjanjikan bahwa hidup dengan melaksanakan kehendakNya adalah hidup yang menyenangkan untuk ukuran manusia, tetapi Tuhan berjanji bahwa didalam setiap langkah kehidupan itu Tuhan tetap memberi kekuatan dan penghiburan. Beri kesempatan Tuhan untuk berbicara kepada kita dan membentuk kita seturut kehendakNya serta mengarahkan jalan kita sesuai rencanaNya. Bila tidak, kita akan tetap seperti gelondongan kayu tanpa bentuk yang terapung dan hanyut diatas air.
Selamat berkarya bagi Tuhan.
No comments:
Post a Comment